top of page
  • Writer's pictureChristian Aditya

The Electric Utopia.

UK melontarkan wacana untuk melakukan "total ban" penjualan mobil internal combustion di 2030 - 2035. Ini termasuk dalam rencana 10 poin "Green Industrial Revolution" yang dicanangkan oleh PM Boris Johnson, seperti yang dikutip dari BBC

Electric vehicles: Phasing out sales of new petrol and diesel cars and vans by 2030 to accelerate the transition to electric vehicles and investing in grants to help buy cars and charge point infrastructure.

Well, saya tidak menampik wacana ini. UK (dan Eropa secara keseluruhan) adalah benua yang siap dengan segala hal terkait perlistrikan. Infrastruktur mobil listrik pada negara - negara Eropa sudah siap dari 5-10 tahun yang lalu. Pengembangan renewables juga sudah bukan hal baru di sana.


Banyak environmentalist dan para petrolhead akan bersukaria mendukung wacana ini, tidak sedikit pernyataan "the future is electric" keluar dari mulut jurnalis otomotif lokal. Tidak sedikit pula netijen nyinyir yang ngomong Indonesia masih lama mau begini.


Tetapi saya masih dan akan selalu skeptis.


Saya tidak akan mengatakan itu sebuah ide yang muluk-muluk. Saya akan menggunakan bahasa eufemistis : "utopia". Ya, tidak salah kan, memiliki utopia ? Sama seperti memimpikan dunia tanpa konflik antar-negara atau manusia yang hidup damai dan tak lagi rasis ?


Sebelum saya menerima banyak hujatan dan dicap "kolot" atau "kuno", well, biarkan saya memulai dengan kabar baik : mobil listrik akan semakin banyak. It's inevitable. Tren pasarnya sudah terlihat. Mainstream brands pun mulai berlomba membuat mobil listrik.

Konsep Honda Electric SUV, lineup listrik kedua setelah Honda E.

( sumber )


Bahkan kalaupun anda hanya melakukan grocery shopping, saya akan sangat merekomendasikan mobil listrik karena energy waste nya jauh lebih sedikit dan lebih ekonomis pula.


Citycar dan crossovers ke depan akan banyak menerapkan PHEV atau full BEV.


Tetapi melakukan total ban ke bahan bakar minyak adalah sebuah ide yang jauh dari realistik. Ada alasan mengapa kita berpuluh - puluh tahun sangat bergantung pada minyak sebagai sumber energi utama. Minyak adalah sesuatu yang sudah terbukti robust dan dapat digunakan anywhere, anytime. Anda tidak perlu bergantung pada charging port di tengah hutan atau area pertambangan. Ia hanya merebut sebagian space di bagasi anda untuk jerrycan berisi bahan bahan bakar cadangan.

Situasi yang tidak mungkin ada stasiun pengisian listrik, bukan ?

( sumber )


Electric bukanlah energy source yang paling efisien. Ia sangat bergantung pada environment yang sesuai. EV tidak akan efisien pada kondisi cuaca tertentu, dan jika battery nya tidak fully charged ia juga tidak berada pada performa paling optimal.

Extreme heat is also a drag on electric vehicles. When outside temperatures heat up to 95 degrees Fahrenheit and air conditioning is used inside the vehicle, driving ranges can decrease by 17 percent, AAA reports. Extreme temperatures certainly play a role in diminishing driving range, but the use of the vehicle’s heating, ventilation, and air conditioning (HVAC) system in these conditions — particularly the heat — has by far the greatest effect.
The problem is that, unlike a car with an internal combustion engine that can warm the cabin with waste heat, EVs have to tap into their batteries to power the climate control system.

Hal ini menyebabkan listrik memiliki satu masalah fundamental jika dipakai jarak jauh : range anxiety, dan waktu charging yang lama. Klasik memang, dan ini tentu saja debatable karena pastinya akan ada banyak sekali improvement.


Tetapi lamanya waktu charging ini bukan semata-mata masalah menunggu saja yang artinya teman anda dengan mobil bensinnya sudah sampai dan jalan-jalan di tempat tujuan sementara anda belum separuh perjalanan, anda juga memerlukan pula sumber listrik yang stabil. Minimal rumah pasti sedia genset... errr... genset itu bermesin diesel atau bensin, kan ?


Jangan lupa bahwa tanpa kendaraan dengan minyak, anda tidak dapat menikmati Tesla atau Leaf. Mining truck yang membawa bahan baku baterai di Tesla anda bermesin dua puluh empat silinder diesel turbo dan itu diangkut dengan kapal bertenaga batu bara, lalu bahan baku pembuatan mobil juga diangkut dengan pesawat bermesin jet yang menghabiskan berton-ton bahan bakar per jam. Belum bicara soal infrastruktur listrik masing - masing negara yang berbeda - beda.

Pertambangan dengan errrr mining truck bermesin 24 silinder...

( sumber )


EV - tentu saja akan gaining popularity dan semakin diminati. Demand akan meningkat, infrastruktur akan semakin bertambah, tetapi EV hanya akan menjadi sebuah diversifikasi produk, layaknya diesel dan hybrids. And that's good enough. Jika anda bukan orang yang menaruh perhatian khusus pada mobil, bukan car enthusiast of some sort, dan ingin sebuah peranti yang simple, mengantar anak ke sekolah dengan glorified R/C car jauh lebih baik daripada membakar bahan bakar di sebuah mesin diesel 2.500cc dan dirawat seadanya karena malas buang uang untuk mobil.


Lagipula, akan sangat membosankan bukan, jika semua mobil adalah listrik ? F1 dengan mesin turbocharged saja sudah menuai hujatan. F1 bertenaga listrik hanya membuat anda nonton bayangan yang lalu-lalang saking cepatnya.


Dan mengingat pabrikan yang punya minat besar pada mobil listrik seperti Hyundai dan Nissan masih punya produk bermesin bensin tenaga besar seperti i30N, Veloster N, GT-R, dan Z-Proto yang akan muncul dengan V6 3.000cc, tidakkah sebaiknya kubu bensin dan listrik berdamai saja dan hadir bersamaan ? We want to live in peace, right ?



on camo : Hyundai IONIQ N Performance

( sumber )







38 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page