top of page
  • Writer's pictureChristian Aditya

7-years an "Auto Journalist"

Updated: Aug 27, 2020

Semua orang bisa menjadi jurnalis otomotif.


Anda tidak perlu pengalaman bekerja di media atau punya latar belakang jurnalistik untuk mengulas sebuah mobil baru atau lama.


Hanya bermodalkan kesukaan terhadap mobil, lalu mengulas sebuah mobil milik sendiri atau teman - atau dealership, kamera video, dan ngoceh. No, bahkan anda tidak perlu paham spesifikasi teknis, orang akan mendengarkan anda. Bahkan anda tidak perlu punya alat ukur seperti RaceLogic atau stopwatch.


Semuanya mungkin berkat YouTube.


YouTube membuat orang dengan tanpa akses ke dunia media dapat bersuara dan didengarkan. Membuka banyak sekali kesempatan untuk berkarir di dunia hiburan atau jurnalistik.


Saya sendiri, adalah produk dari generasi YouTube dan internet. "Karir jurnalis" otomotif saya berasal dari background otodidak. Hanya, saya cukup beruntung punya privilege relasi dan pendidikan. Platform yang membesarkan saya adalah sebuah forum otomotif.


Tetapi tulisan saya di 5-6 tahun yang lalu, cukup berantakan. Saya sendiri enggan membacanya lagi. Ternyata tidak cukup hanya bermodal dapat pinjaman mobil, tancap gas, lalu nulis sembarangan dengan mengabaikan banyak sekali faktor.


Objective, not Subjective


Review yang bagus akan selalu dituntut untuk objektif - tidak memihak, tidak membesar - besarkan, tidak overly praising something atau sebaliknya, membenci berlebihan. Masalahnya, bisakah manusia benar - benar objektif dalam menilai sesuatu ?


ob·jec·tive
(of a person or their judgment) not influenced by personal feelings or opinions in considering and representing facts.

- Google Dictionary

I mean, jika anda baru memulai sebuah review otomotif, pengalaman mengemudi anda hanyalah mengemudi sebuah hatchback keluarga 1.5 Liter. Sementara mendadak anda disodori sebuah BMW seri-3 terbaru untuk review.


Lalu, standar objektif mana yang akan anda pakai ? Nggak mungkin kan, hatchback keluarga anda jadikan standar untuk menilai sebuah BMW seri-3 ?


Kebanyakan orang terjebak pada bias subjektivitas. Standar objektif kita sendiri pun sebenarnya tidak benar - benar objektif. Itu semua adalah produk dari pengalaman dan preferensi pribadi. Mungkin saja malah pengaruh orang lain. Review awal - awal saya sangatlah dipengaruhi oleh orang lain, orang yang saya anggap panutan atau senior.


Bahkan dengan minimnya pengalaman dengan supercar - ketika mencoba supercar, saya tidak memiliki referensi sama sekali. Semua yang saya tuliskan adalah cliche.

Pengalaman pertama saya dengan supercar : McLaren 650S


Class, Features, Price


Untuk menjadi benar - benar objektif, kita harus menerapkan sebuah standar - di luar standar kita sendiri. Yeap, you guessed it : harga jual dan kelas. Perbandingan antara mobil yang sekelas itu adalah standar yang cukup fair bukan ?


Dan harga, yep, harga adalah yang menjadi penentu sebuah mobil dapat dikatakan layak dibeli atau tidak. It all makes sense. End of story.


Tetapi ini memiliki jebakan sendiri.


Pertama, setiap mobil mungkin bersaing di kelas yang sama, karena kebetulan dimensinya mirip. Tetapi what if, jika mobil tersebut tidak didesain untuk menjadi seperti pesaingnya ?


Again, kita cenderung punya standar untuk sesuatu. Tetapi what if ada mobil yang "melawan" stereotipe tersebut ?


Contoh sederhananya adalah Mazda2. Mendengar kata Mazda2, kita sudah membayangkan rivals seperti Honda Jazz dan Toyota Yaris. Akhirnya kita memberi standar bahwa Mazda2 haruslah menjadi "another" Honda Jazz atau Toyota Yaris : hemat bahan bakar, punya kabin besar.

Mazda2 dan beberapa produk Mazda lain memang tidak dirancang untuk mengikuti pakem yang ada. Mobilnya seperti itu ya karena memang didesain seperti itu.


Padahal ketika saya mencoba Mazda2 terbaru, clearly mobil ini tidak didesain menjadi sebuah Honda Jazz. Mobil ini didesain menjadi sebuah mobil yang mengutamakan driving experience sekaligus teknologi dengan harga yang terjangkau, dan seluruh package nya mengarah ke sana.


Kedua : harga versus barang. Value for money, istilahnya.


Kebanyakan orang - internet petrolheads, terjebak dalam membandingkan mobil semata hanya dari gimmicks dan build quality. Hal ini sekilas terdengar logis, membandingkan harga dengan fitur yang didapat dan kualitas buatan.


Tetapi, mobil jauh lebih dalam dari itu.


Mobil - pada esensinya adalah gerobak empat roda dengan kabin dan mesin penggerak. Setiap komponen pada mobil memiliki harga. Turbocharger buatan Garett dan Mitsubishi mungkin speknya berbeda, harganya berbeda. Transmisi buatan Jatco dan Aisin bisa saja memiliki bahan berbeda yang mengakibatkan harganya berbeda juga.


Oh mungkin harga perkilo baut di sebuah Toyota dan sebuah Hyundai bisa saja berbeda.


Tetapi tidak mungkin pabrikan mobil menyebut secara rinci harga per part. Too much effort, tidak muat di brosur, dan percayalah - tidak ada seorangpun yang akan membacanya. Pada spesifikasi kedua mobil ini hanya akan ditulis : 1.5 Liter Turbo dengan berapa hp berapa Nm. Titik.

Wuling Almaz, mobil 300 juta-an dengan mesin 1.5 Liter Turbo. Dari spek mesin kita bisa saja berasumsi bahwa Wuling menjual lebih murah dan memiliki value dibanding Honda atau VW, padahal di balik itu belum tentu juga.


Poin saya adalah - dua mobil dengan harga sama, bisa saja memiliki value berbeda. Taruhlah sebuah Toyota Kijang Innova versus sebuah MPV Tiongkok yang sedang hits.


Saya bukan mengatakan MPV Tiongkok tidak mungkin awet, tetapi Toyota Kijang Innova, dari dulu adalah soal keawetan. Tentang seberapa tangguh mobil ini berjalan di medan berat Indonesia yang beraneka warna. Mobil ini jelas dibuat dengan komponen yang ditujukan untuk durabilitas - bukan gadgets dan features, yang mungkin saja jangankan MPV Tiongkok - MPV Toyota seperti Alphard saja tidak mungkin punya tingkat keawetan seperti Innova.

"Mahal" nya sebuah Innova bisa saja justifiable dengan pemakaian jangka panjang.


Making it Right.


Jika anda tertarik dengan review mobil, melakukan ulasan mobil - suka tidak suka, anda sudah menjalani kerja jurnalistik. Dalam hal ini, otomotif.


Salah satu tugas jurnalis adalah dapat menawarkan perspektif pada pembaca atau penontonnya. Ia tidak boleh menggiring opini untuk memilih A atau B atau Z. Dalam hal ini, jurnalis harus dapat melihat dari banyak perspektif, dalam hal ini perspektif konsumen dan perspektif produsen.


Jurnalis otomotif bisa dibilang adalah "consumer's advocate" bagi produsen, ia bukan si pembuat mobil, tetapi ia cukup mengerti dunia otomotif dan dapat menjelaskannya bagi orang awam sehingga membantu si awam memahami kebutuhan kendaraannya.


Sebaliknya, bagi produsen, jurnalis adalah "public relations" lepas ATPM kepada konsumen. Ia menyampaikan pesan dari produsen dengan bahasa yang mudah dipahami awam. Datang dan mendengarkan press-conference serta soft-launching produk lalu melakukan media test drive. Media adalah corong terdepan ATPM ke konsumen.



Media selalu memiliki privilege dekat dan diundang pada acara - acara khusus dan ia bertugas menjadi penengah antara konsumen dan ATPM.

( sumber )


Apa yang harus dipahami oleh seorang jurnalis ?


Pertama : bagaimana industri otomotif bekerja.


Mobil adalah produk dari sebuah sistem, untuk memahami produk itu anda harus memahami industri itu sendiri. Google dan YouTube akan membantu anda memahami seperti apa kondisi industri otomotif dan bagaimana sebuah mobil dibuat. Bagaimana proses mobil dirancang dari bijih besi hingga delivery ke tangan konsumen, termasuk campur tangan regulasi pemerintahan setempat. Referensi dari review media lain, atau documentary, sudah sangat banyak.

Bagaimana memahami kerja industri otomotif akan membantu menciptakan penilaian yang fair.


Dengan mengetahui bagaimana industri bekerja, saya rasa, anda tidak akan dengan mudah mengatakan mobil dengan banyak gimmick elektronik itu value for money.


Kedua, tujuan mobil diciptakan.


Cars have purposes. Nilailah mobil as it is. Tidak sulit mencari referensi dan press conference dari ATPM tentang produk tersebut di internet. Bagaimana heritage, sejarah, dan jika itu sebuah mobil yang sudah lama beredar - bagaimana mobil tersebut menjadi bagian dari masyarakat. Sejarah memang seperti bikin ngantuk, tapi untuk membuat sebuah review yang berbobot, bahasan sejarah membuat kita on-track mengenai fungsi dari mobil tersebut.


Pahami sejarah sebuah mobil, sehingga anda mengerti mengapa ia diciptakan.

( sumber )


Bahkan jika kita sama sekali tidak punya pengalaman dengan mobil tersebut, adanya referensi sejarah dengan teknik storytelling yang baik, akan sangat membantu review kita lebih berwarna.


Ketiga, teknikal mobil dan teknik mengemudi.


Salah satu rule yang saya selalu pegang adalah : jangan pernah lompat ke kesimpulan jika kita belum mengemudikan mobil itu.


Jurnalis otomotif jelas bukan orang awam, mereka harus punya kemampuan dan pengetahuan lebih baik dari orang awam. Dimulai dari pemahaman teknis yang baik tentang mesin, konsep tentang energi, bahan bakar, transmisi, dan kaki - kaki, hingga dasar - dasar mengemudi, seperti memegang setir, cornering, merasakan G-Force, merasakan bagaimana ban nyaris kehilangan grip, permainan gas, rem, kopling, pindah gigi.

Pelatihan Defensive Driving oleh lembaga IDDC (Indonesia Defensive Driving Center) bekerjasama dengan Hyundai Mobil Surabaya pada tahun 2017


Ribet banget, ya ? Sebenarnya tidak, ini adalah sesuatu yang sehari - hari saja, teknik safety driving dan defensive driving biasa. Untuk bisa merasakan karakter sebuah mobil, cara nyetir anda harus benar, dan feeling anda harus terasah untuk merasakan setiap inch dari mobil.


Anda tidak perlu seperti pembalap : heel n toe, drifting, atau liftoff oversteer. Walaupun kemampuan seperti ini juga good to have.


Dengan penguasaan teknik menyetir yang baik, eksplorasi karakter mobil pun lebih mudah, dan kesimpulan kita tidak dangkal.


Ke empat dan yang terakhir : enjoy the process.


Semua jurnalis otomotif di era internet akan mengalami setiap hal di atas, dan itu sangat wajar. Di awal gaya tulisan dan cara bicara setiap orang akan mengikuti format yang ada. Tetapi lambat laun, seorang jurnalis harus memiliki gaya sendiri, approach sendiri, tidak bisa terus - terusan mengikuti format default.


Nikmati setiap proses, eksplorasi gaya sendiri, perkaya informasi, perkaya ilmu, perkaya pengalaman, bergaul dengan banyak orang : sesama jurnalis, mekanik, salesman mobil, pembalap, dll. Dicecar, dihina, dikritik, itu biasa. An expert was once a beginner, right ?


The Paradox of Personal Preference.


Uniknya, yang membuat sebuah review punya warna adalah selera pribadi si reviewer. Lho, tadi katanya nggak boleh ngikutin selera pribadi ?


Di sinilah yang membuat kerja jurnalis otomotif itu tricky. Untuk membuat sebuah review terasa organik, terasa dibuat oleh manusia, bukan dibuat oleh robot pengetik, ia harus ada elemen perasaan, dalam hal ini, selera pribadi termasuk.


Tetapi, seorang jurnalis yang baik, mampu menyampaikan tanpa mempengaruhi selera konsumen dan tidak terkesan menggiring opini.


Legenda jurnalis otomotif : trio Clarkson, Hammond, dan May, memiliki warna sendiri karena hal ini. Jujur saja, yang membuat mereka unik, salah satunya adalah review yang justru kental dengan bias.


Tetapi mereka tidak menjadikan itu sebagai poin utama - bias-bias mereka biasa ditunjukkan dengan perdebatan konyol dan guyonan sarkas, sehingga anda tidak take it seriously.


Jadi selain harus memiliki wawasan yang luas, fair dalam menilai, dan memiliki skill, anda juga harus kreatif, memiliki selera humor yang bagus, supaya review anda terasa organik dan mengalir.


Susah ? Panjang ? Ya memang, karena itulah jurnalis otomotif yang bagus itu sangat sedikit jumlahnya.



















77 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page