top of page
  • Writer's pictureChristian Aditya

How Safe is Too Safe ?

Product Safety adalah sebuah wacana besar dalam industri consumer goods. Sebutkan industri apapun, ketika mereka bermasalah dengan safety dari produknya, mereka berada dalam masalah serius.


Toyota harus membayar denda ratusan juta US Dollar - dalam urusan berkenaan dengan unintended acceleration.


Takata bahkan menyatakan bangkrut setelah melakukan salah satu recall terbesar dalam sejarah otomotif - akibat airbag yang menembakkan shrapnel ke wajah anda pada saat meledak.

Takata menyatakan bangkrut setelah kejadian faulty airbags.

( sumber )

Japanese air bag maker Takata Corp. filed for bankruptcy protection in Tokyo and the U.S. on Monday, saying it was the only way to ensure it could carry on supplying replacements for faulty air bag inflators linked to the deaths of at least 16 people.

Wacana product safety pada otomotif selalu berkembang. Mulai dari teknologi crumple zone, traction control, hingga teknologi keamanan masa kini dengan radar yang siap menginterupsi anda setiap akan berpindah jalur.


Jika kita pernah mendengar petuah untuk prepare for the worst, apparently, pabrikan mobil terlalu literal dalam mengartikannya.


Mereka mengasumsikan bahwa setiap pengemudi di jalan adalah pengemudi dengan jam terbang di bawah 24 jam - sehingga perlu mengintervensi segalanya. Mulai dari traction control hingga merayap di kemacetan sambil memegang ponsel.


Well, tidak salah juga sih.


Perangkat keamanan ini terkadang seperti ibu anda yang selalu minta dikabari setiap anda berpindah tempat 1 meter. Seperti helicopter parents yang selalu insecure dengan kondisi anaknya. Not always bad though, ibu anda bisa menelpon polisi jika anda dilecehkan di taksi online, tetapi membuat anda seperti anak usia 12 tahun di antara teman - teman kuliah anda.


So, how safe is too safe ?


Hari itu saya sedang meminjam sebuah Mazda2 baru untuk test. Tipe tertinggi, dengan peranti safety masa kini - salah satunya adalah SCBS (Smart City Brake Support), fitur tolak bala yang dapat menjaga anda tidak nyundul saat sedang membalas chat gebetan.

Mazda2 tipe tertinggi, GT, sudah dilengkapi fitur i-ACTIVSENSE yang mencakup SCBS


Masalahnya adalah, fitur ini justru aktif di saat yang tidak terprediksi.


Di depan sebuah restoran, hanya sekitar 200 meter dari dealer Mazda tempat saya meminjam unit. Seorang tukang parkir siap memberi aba-aba kepada mobil untuk berhenti dan mempersilakan saya jalan duluan.

Yang terjadi : radar mendeteksi tukang parkir sebagai object dan ia menghentikan laju mobil. Dengan kasar.


Snap.


Beruntunglah tidak ada kendaraan yang nyundul dari belakang.


Saya bahkan tidak sedikit mendengar cerita ABS dan traction control yang membuat arah mobil jadi tidak terprediksi dan nyaris mencelakakan pengemudinya, tidak selalu dalam konteks ugal - ugalan.


Tak sedikit purist otomotif yang justru mengutuki keberadaan fitur keamanan yang "berlebihan". Dan saya mengerti kegelisahan mereka. Tetapi saya tidak mau berakhir pada kesimpulan naif bahwa fitur keamanan tidak diperlukan sama sekali. Bagaimanapun, fitur keamanan adalah yang membuat mobil seperti Lamborghini Aventador atau Mercedes AMG lineups tidak berakhir menjadi mesin pembunuh.

Porsche 930 Turbo, salah satu mobil yang sulit dikendalikan sampai mendapat julukan "Widowmaker"


Fitur keamanan pada dasarnya dirancang menjadi sebuah fail-safe system bagi manusia yang bisa lengah, dan kondisi traffic yang seringkali tidak menentu - sesuatu yang mungkin tidak ada dalam kurikulum sekolah mengemudi. Well entahlah kalau ada, yang jelas di Indonesia tidak ada sekolah mengemudi mengajari bagaimana manuver saat terjadi aquaplanning atau memompa rem saat roda mengunci.


Tetapi kalaupun ada, reflex manusia tidak selalu 100%, dan pada kondisi genting seperti ini memang sistem pengaman diperlukan.

Sayangnya, kita sebagai konsumen tidak pernah tahu bagaimana behavior sistem kontrol traksi saat membaca gejala selip. Di atas kertas semua terlihat sama saja, traction control ya begitu-begitu saja cara kerjanya, tetapi tidak semua mobil diprogram sama. Traction control di mobil A bisa saja lebih sensitif daripada di mobil B, dan kacaunya traction control yang terlalu sensitif justru membuat manuver menjadi berbahaya seakan mencegah anda melakukan apapun dan manuver mobil justru tidak terprediksi - seperti overprotective parents.


Masalah lain adalah pabrikan mobil terlalu jauh dalam mengembangkan sistem keamanan. As if sistemnya terlalu memanjakan pengemudi yang buruk. I mean, apakah orang yang tidak dapat menjaga jarak pada bumper-to-bumper traffic di bawah 30 kilometer per jam, terkualifikasi untuk mengemudi di jalan umum ? Lagian, bumper-to-bumper traffic bukan sebuah situasi yang "snap" dan sulit dikendalikan. Kalaupun nyundul juga tidak berpotensi menghilangkan nyawa siapapun. Biker yang kesundul paling hanya misuh-misuh dan menggebrak kap mesin anda.


Kita mengadakan pelatihan mengemudi yang aman, mendenda orang yang mengemudi under-influence, melakukan penelitian mengenai seberapa lama orang mengemudi sehingga kita bisa kira - kira kapan harus berhenti dan beristirahat sambil menenggak kafein. Tetapi pabrikan mobil, terkadang justru memberi toleransi terhadap hal - hal seperti ini.

Salah satu pelatihan mengemudi aman yang di-inisiasi oleh IDDC (Indonesia Defensive Driving Center) bekerjasama dengan Hyundai Surabaya.


Atau mungkin ini adalah awal dari tidak diperlukannya lagi aktivitas mengemudi ? Entahlah. Semoga saya salah.

44 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page