top of page
  • Writer's pictureChristian Aditya

To a Greener Motoring

Bagaimana mengasosiasikan "motoring" dengan "green" ?


Beberapa mungkin akan menjawab dengan solusi yang sudah sering didengar : Tips mengemudi hemat, mengisi BBM sesuai persyaratan, melakukan perawatan berkala, dan yang selama ini menjadi wacana dan baru-baru ini mulai digulirkan lagi : uji emisi berkala.


Sebagian akan go as far dengan mengatakan pindah ke listrik atau hybrid.


Udara yang semakin kotor tentu saja membuat generasi masa kini lebih concern dengan isu lingkungan.


Tetapi ada satu hal menarik - yang mungkin jarang menjadi perhatian. Seorang Content Creator lokal bernama Cania Citta melakukan breakdown tentang isu "save the planet" ini untuk kita.



Ada satu poin menarik yang mencelikkan otak saya dan langsung membuat saya teringat pada isu motoring - walau yang dijadikan contoh adalah tote bag.


Untuk upaya mengurangi sampah plastik - sekali pakai - sebagian orang mulai switch ke tote bag untuk berbelanja. Tetapi hal ini tidak kalah bermasalahnya.


Karena walau kita menggunakan tote bag untuk berbelanja, tetap saja behavior "plastic" kita tidak berubah. Sebagian orang berpikir oh it's a tote bag, then it's greener. Akhirnya setiap berbelanja, kita "membeli" lagi tote bag yang lain.

Beberapa tempat sudah tidak lagi menyediakan kantong plastik belanja. Menyarankan anda membawa tas sendiri walaupun pada prakteknya mereka tetap menjual tote bag karena banyak yang tidak membawa.

( sumber )


Padahal tote bag juga melalui proses produksi - sama seperti plastik - dan itu juga mengandung waste dalam produksinya.


Kita hanya memindahkan satu masalah ke masalah yang lain.


Lalu apa kaitannya dengan motoring culture kita ?


Beberapa dari anda mungkin paham bahwa saya tidak into electric cars hype. Saya mungkin cenderung dianggap "nyinyir" terhadap tren electric cars.

KONA Electric, sudah mulai jadi mobil yang sering diperbincangkan...

( sumber )


Tetapi let me clarify, saya tidak anti sama sekali dengan gerakan penyelamatan lingkungan. Baik dari tanah, udara, laut kita sudah cukup "kotor" dan sudah saatnya anak muda sadar dengan lingkungan.


Hanya, saya melihat hari ini - kepindahan dari ICE (Internal Combustion Engine - Diesel / Bensin) ke elektrik (masih) terlihat seperti hanya memindahkan masalah dari kota besar ke, saya tidak tahu - daerah pelosok ? Yang akhirnya justru memindahkan masalah ke penduduk pulau lain yang innocent.


Oh ya, mereka juga menikmati listriknya, tetapi sebagian konsumen listrik adalah di kota besar urban yang sibuk. They reap what they don't sow. Seperti tetangga anda yang nyampah tetapi karena ia tidak mau sampahnya numpuk di halaman rumahnya - ia membuatkan anda tempat sampah di halaman rumah lalu diem-diem membuang sampahnya ke halaman rumah anda.

Zero Emission.... Oh wait.

( sumber )


Selain ethically wrong, ini juga tidak green sama sekali.


Kritik melulu, solusi dong!


Saya tidak pernah mengatakan bahwa menggunakan ICE cars lebih baik juga untuk lingkungan. Tidak sama sekali. Seperti apapun anda menggunakan ICE cars yang "hijau", cc kecil, dirawat dengan premium liquids dan parts tetaplah tidak menutup fakta bahwa menggunakan mobil adalah sebuah massive energy waste.

Lamborghini Huracan Performante. Bukan mobil yang "hijau", tentu saja. Hijau hanya warnanya. Tetapi ia bisa saja lebih "green" dari electric cars. Well, siapa yang membawa Lamborghininya untuk daily commute bermacet-macet ?

( sumber )


Lalu, bagaimana ?


Untuk mencapai "cita-cita" motoring yang hijau, maka kita perlu breakdown sedikit-demi-sedikit. Kita memerlukan sebuah behavioral change.


Tokyo yang tak kalah padat penduduknya (tiga kali lebih padat dari Jakarta) tetapi memiliki kualitas udara jauh lebih baik ( AQI - Air Quality Index Jakarta 58/Moderate, Tokyo 43/Good per 18 Januari versi IQAir ). Ini menandakan sesuatu, bukan ?



Air Quality Index, jika anda penasaran.

( sumber )


Barangkali untuk mencapai langit yang lebih biru, kita sama sekali tidak memerlukan mobil listrik ?


The Problem : How The Road became So Flooded.


Urban commute sucks.


Mengendarai mobil atau motor anda dengan kecepatan rata-rata di bawah 20 kilometer per jam setiap hari tidaklah menyenangkan. Bertemu dengan banyak sekali kemacetan yang tak jelas rimbanya.

Ribuan - jutaan anda melakukan ini. Setiap hari.


Bahkan kalau rumah anda jauh dari tempat kerja, bangun dan berangkat pun harus lebih pagi.


Sebagian besar orang Indonesia tidak terbiasa menggunakan public transport. Ya, meski di Jakarta hal ini mulai shifting. Sebagian mulai beralih ke TransJakarta dan KRL.


Tetapi saya paham bahwa sistem transportasi di mayoritas kota di Indonesia belum secanggih dan seconds-accurate seperti Tokyo. Bahkan kita akan sangat sering berpindah - pindah bus atau kereta untuk mencapai satu tempat tertentu, dan menyebabkan waktu tempuh menjadi sangat lama.


Well, ini adalah ranah pemerintah daerah dan tentu saja kita tidak mungkin mengubahnya. Soal ini kita juga perlu berbicara mengenai tata-kota.


Stretch Your Legs, People.


Saya paham bahwa berjalan kaki di kota metro seperti Jakarta itu mengesalkan, terkadang pemotor bisa sampai naik trotoar dan membuat keributan dengan pejalan kaki.


Tetapi let's face it. Kebanyakan dari kita tidak dibiasakan untuk bergerak aktif. Selepas usia sekolah pergerakan kita sangat terbatas hanya dari kursi ke kursi. Berjalan sepuluh meter saja sudah pegal-pegal dengan kadar lemak yang terus menumpuk karena tidak digunakan.


Untuk pergi ke gang sebelah atau ke tempat dengan jarak kurang dari satu kilometer harus mengeluarkan mobil atau motor. Hanya sekedar berbelanja ke minimarket luar komplek juga harus pakai mobil, padahal hanya beli rokok atau jajan.


It's a total waste, really.


Tetapi salah satu cara untuk menjadi eco-friendly tanpa harus membeli kendaraan listrik adalah mengurangi short trips dengan kendaraan pribadi. Saya sendiri tidak pernah mengeluarkan mobil jika perjalanan hanya kurang dari satu atau dua kilometer.

Bergerak aktif membantu anda lebih sehat sekaligus lebih eco-friendly, tentu saja.


Berat, tentu saja, jika selama ini malas jalan. Tetapi lama kelamaan juga terbiasa. We're biological creature, after all. Tubuh kita beradaptasi.


Selain mengurangi asap, tubuh anda juga lebih sehat.


All-in-One Stops.


Kendaraan pribadi dicintai karena flexibility yang diberikan.


Anda dapat sewaktu-waktu berhenti ke satu tempat tanpa perencanaan. Bahkan menggunakan ride-sharing service : taks-ol / oj-ol saja berhenti harus direncanakan. Atau minimal, anda mesti memberitahu si pengemudi.


Tetapi fleksibilitas ini justru yang sebenarnya membuat transportasi pribadi menjadi tidak eco-friendly.


Bagian paling tidak eco-friendly dari sebuah mesin adalah pada siklus mematikan dan menyalakan ulang. Saat mesin anda mati, temperatur mesin akan turun dan saat menyalakan ulang artinya mesin harus start over untuk mencapai temperatur kerja, termasuk membuang bensin lebih banyak untuk meningkatkan rasio udara-bahan bakar.


Well, kalau anda hanya berhenti kurang dari 30 menit maka ini tidak akan jadi masalah. Mesin tetap dapat mempertahankan temperatur kerjanya. Tetapi kebanyakan kita on daily basis bisa melakukan multiple-stops dengan jangka waktu lebih dari sejam.


Oh, tentu saja tidak semua keperluan dapat dilakukan dengan single stop. Sangat tidak realistis, tentu saja.


Tetapi percayalah, jika anda tinggal di kota besar, coffee shop dan minimarket hanya berjarak kurang dari 100 meter. Online services juga sangat mudah dijangkau, bahkan nyaris seluruh kebutuhan pembayaran dapat dilakukan di minimarket. Bahkan kalau anda tinggal di apartment atau komplek perumahan jaraknya bisa dijangkau dengan kaki.

Di beberapa tempat juga tersedia fasilitas parkir umum untuk menjangkau banyak sekali tempat...


Jadi minimal ini sangat membantu eco-friendly approach kita untuk tidak membuat terlalu banyak pemberhentian.


A "Greener" Route.


Apa bagian paling mengesalkan saat mengemudi ?


You guessed it.


Terjebak macet di sebuah ruas jalan dan kita hampir tidak bergerak, mungkin satu inch per hour saja pergerakannya. Penyebabnya bisa dari ada kendaraan mogok atau sesederhana sesuatu yang sehari - hari : durasi traffic light.


Stop-and-go scenario adalah sebuah horror. Sebuah situasi yang tidak menyenangkan dan sangat tidak eco-friendly.


Selain multiple stops / siklus menyalakan-mematikan mobil yang berulang-ulang, stop-and-go juga membuat mobil anda membakar bensin lebih banyak. Bagian terberat dari pergerakan sebuah kendaraan justru malah saat dari diam ke jalan, ia harus memiliki momentum yang cukup, dibanding akselerasi ringan.


Tanpa pergerakan berarti pula.


Skenario ini tentu saja sulit dihindari jika tinggal di kota besar. Jam kerja sudah pasti padat dimana - mana. Sekali lagi, situations may vary. Tidak semua orang berada di situasi yang sama. Tetapi kalau anda seseorang yang sudah daily commute bertahun - tahun ke tempat yang sama, saya yakin anda memiliki sangat banyak pilihan rute. Manusia adalah makhluk adaptif. Anda hanya akan betah bermacet-macet jika tidak ada pilihan rute lain, atau minimal rute lainnya tidak lebih baik.


Rute yang paling "hijau" dalam teori ini tentu saja adalah rute yang tidak memerlukan terlalu banyak stop and go.


Dengan kata lain, rute dengan paling sedikit traffic light adalah yang anda inginkan.


Kedua, opsi tol selalu lebih baik dengan asumsi traffic lancar. Tol memungkinkan mobil bekerja dalam kecepatan yang paling efisien (80-120 kilometer perjam), steady, dan less distraction karena tidak ada angkot ngetem dan segala keribetan lain di perkotaan.


Tetapi sekali lagi, tol akan jadi sebuah nightmare jika trafficnya padat. Terjebak macet panjang di tol adalah sesuatu yang mengerikan. Anda tidak dapat pergi kemana - mana kecuali menunggu.



Jalan tol : terbaik, jika lancar. Terburuk, jika macet.


Jadi, selalu periksa GPS anda sebelum memilih rute.


Maintenance, and Steady Driving, not "Masochistic" Driving


Seluruh skenario di atas akan bekerja optimal tentu saja dibarengi dengan perawatan dan kebiasaan mengemudi.


BBM di bawah rekomendasi, perminyakan di mobil, dan kondisi parts yang degrading jelas membuat mobil anda ekonomis nan efisien. Standar EURO hanya tercapai jika mobil memenuhi persyaratan tertentu, bukan diisi BBM termurah dan oli termurah di pasaran asal jalan.

EURO Emissions, tentu saja ada persyaratan yang harus dipenuhi.

( sumber )


Mengambil rute tol tidak akan optimal dan eco-friendly jika anda pengemudi gas pol-rem pol. Tentu saja tidak perlu setiap saat pulse and glide untuk mencapai kehematan maksimum atau selalu stay di gigi 5 dan berada di bawah 2.000 RPM setiap saat di tol. Eco Driving tidak selalu artinya "menyiksa diri", masochistic style driving. Kadang kita harus realistis bahwa tidak selalu saran eco driving itu dapat diterapkan di segala kondisi.


Steady pace selalu lebih baik. Momentum anda lebih terjaga dan tenaga selalu ada jika diperlukan untuk mendahului kendaraan lain, especially kendaraan besar.








59 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page