Siapapun kita dalam kelas masyarakat kasta non-elit dari strata ekonomi yang manapun, saya sangat yakin mayoritas kita sepakat : mobil itu bukan barang murah. Sudah tidak murah, harganya terdepresiasi terus. Jelas ia bukan aset, tapi liability (beban).
Yah kecuali kalian seorang Hotman Paris
Mobil bagi sebagian orang adalah impian. Mereka hanya bisa membayangkan memilikinya dari layar kaca atau permainan video (video game). Walau memiliki uang untuk membelinya sekalipun, kita harus menelan kenyataan pahit bahwa bagi kelas menengah yang tinggal di kota besar - properti sudah tidak terjangkau. Orang yang melek finansial tahu bahwa membeli properti jelas lebih berguna ketimbang membeli mobil.
Disebutkan, jika generasi milenial masih lebih mengutamakan gaya hidup ketimbang kebutuhan jangka panjang, maka hasil riset itu bisa saja terbukti. Anak muda tidak bisa memiliki rumah dalam kurun waktu lima tahun lagi. Saat ini, rata-rata pendapatan generasi muda sekitar Rp 6.072.111 per bulan. Sedangkan untuk mencicil rumah dengan harga paling murah di Jakarta, misalnya Rp 300 juta, seseorang mestinya memiliki penghasilan Rp 7,5 juta per bulan. Sementara itu, bila dilihat riwayat sejarahnya mulai 2009-2012 yang menjadi era di mana properti sedang meledak, kenaikan harga rumah bisa mencapai 200 persen atau 50 persen per tahun. Untuk lima tahun ke depan, Untung memprediksi bahwa kenaikan harga rumah bisa mencapai 150 persen.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Generasi Milenial Susah Beli Rumah? Bagaimana Daya Belinya?",https://biz.kompas.com/read/2017/04/28/085258628/generasi.milenial.susah.beli.rumah.bagaimana.daya.belinya..
Ironisnya, kecintaan seseorang pada dunia roda empat itu biasa dimulai sedini usia kanak - kanak. Ya! Ada banyak orang yang memulai hobi otomotif dan hapal nama - nama mobil sejak usia balita - tidak memandang strata ekonomi apapun. Mobil itu khan barang yang sangat umum ditemui. At least kalaupun bukan mobil - ya roda dua (motor).
Seiring remaja dan dewasa, mulai mengenal namanya media otomotif. Saya ingat dulu awal - awal saya mulai menggeluti otomotif, usia 14 tahun. Ayah saya suka langganan majalah mobil - AutoBild Indonesia dulu. Mulai belajar mengenali satu per satu nama dan jenis mobil. Dulu harga majalah ini per eksemplar sekitar 20 - 25 ribuan. Sejak saya hobi itu, sebuah lapak majalah di Jl. Kartini Semarang (anak seusia saya pasti ngeh lokasi ini, jika hobi baca majalah atau komik - yang hobi ngasih diskon suka - suka, kadang keterlaluan murahnya) menjadi langganan saya, saat itu banyak produk Kompas Gramedia (KG) Group saya borong : AutoBild Indonesia, AutoExpert, dan auto auto yang lain, termasuk yang bukan produk KG Group. Ada gambar mobilnya, samber.
Autobild Indonesia edisi terakhir. Majalah yang mengisi masa - masa remaja saya.
Sekarang media beralih ke daring, majalah fisik menjadi sesuatu yang langka. Semakin mudah mengaksesnya hanya dengan berbekal ponsel - yang katanya "pintar" itu, yang bervariasi dari harga ratusan ribu sampe puluhan juta. Pokoknya : terjangkau semua lapisan masyarakat.
Tentu saja anak milenial kota sekarang - bahkan yang di desa sekalipun tidak lepas dari yang namanya internet. Seakan nggak makan nasi gakpapa, yang penting onlen.
Penggemar otomotif pun tak terkecuali, selalu update laman - laman social media dan suskreb ke kanal YouTube seperti OtoDriver milik ex-jurnalis AutoBild Indonesia, Fitra Eri ; Autonetmagz yang merupakan salah satu pelopor media daring otomotif ; GridOto yang merupakan rebranding dari Autobild Indonesia ; Carmudi Indonesia, situs mobil bekas saja punya kanal review sendiri dengan review super duper lengkapnya Franciscus "bang botak" Rosano ; Motomobi yang gayanya sungguh nyentrik ; dll, you mention it : LugNutz Auto Junkie, B-Channel, Kendara, CVT Indonesia, dll dst yang tidak cukup disebutin semua di sini.
Dua reviewer otomotif paling terkenal di Indonesia : MotoMobiTV dan Fitra Eri.
Belum lagi di mancanegara kita masih punya trio legenda jurnalis yang jadi panutan umat permobilan sedunia : Clarkson, Hammond, May ; ex-presenter BBC Top Gear yang sekarang punya show sendiri "The Grand Tour". Tiga orang yang opininya sudah seperti "dogma suci" umat permobilan.
The Trio Hammond, Clarkson, May.
Baiklah, sudah mabok dengan sekian banyak nama di atas ?
Apapun yang kalian tonton, fakta tak terbantahkan adalah : media punya kekuatan untuk memainkan daya imajinatif seseorang. Sesuai slogan "mimpi itu gratis, jadi bermimpilah!". Dan ini diterjemahkan dalam kolom komentar YouTube semua kanal review tadi : semua orang berimajinasi. Termasuk yang review, yah namanya proses kreatif pasti butuh imajinasi kok, wajar.
Imajinasi bahwa mereka suatu saat akan punya mobil itu, imajinasi bahwa mereka punya uang segitu dan setelah beragam-riset-melalui-brosur-dan-internet-serta-sentuh-sentuh-genit-di-pameran-maka-saya-merasa-sudah-paling-tau-akan-permobilan-dan-sebagai-yang-paling-paham-mobil-saya-akan-pilih-model-ini-ketimbang-model-itu.
Istilahnya, mengutip dari kata "bang botak" nya Carmudi Indonesia : "Tim Mending ini Mending itu".
Imajinasi sendiri beda dengan halu(sinasi), banyak orang besar berawal dari imajinasi. Imajinasi menjadi halu itu ketika tidak ada willpower dan rencana sistematis untuk menggapainya. Boro-boro willpower, yang ada selalu menyalahkan keadaan.
Ah sudahlah, kok jadi bahas halu.
Bagi sebagian orang fenomena mendang-mending ini toxic, melelahkan, isinya perdebatan tanpa isi dan gontok - gontokan di media sosial, tanpa kontribusi sedikitpun ke market.
Yes, kebanyakan yang berdebat mendang-mending di kolom komentar YouTube atau Instagram, silahkan "kepo" sedikit : rata - rata anak usia sekolah! Yah ada beberapa yang memang anak kuliahan atau sudah bekerja, tapi dari pengamatan sekilas saya, mayoritas penonton YouTube Otomotif Indonesia adalah anak - anak hingga remaja. Dengan kata lain, mereka berdebat dalam imajinasi mereka sendiri. Jangankan beli, nyetir saja belum dibolehin orang tuanya.
Saya pun kesel - tapi fenomena ini tidak terelakkan. Saya bisa sedikit berempati dengan para tim mendang-mending ini.
Akui saja, kita pernah berada dalam fase begitu asik dan antusias dengan satu hal dan ego serta emosi kita bermain di situ. Itulah ego para anak - anak ini. Hot-headed, bersemangat, merasa paling tahu, begitu naif.
Bedanya, dulu di zaman saya remaja belum eranya review video dan instagram. Jadi keributannya sedikit terkontrol.
Saya bisa membayangkan seorang eksekutif ATPM, mungkin President Director atau VP - di kantornya yang dingin dan kursi sofa yang nyaman, sambil nyeruput kopi pagi, menunggu waktu meeting, bersantai menonton video review produknya sambil membaca ramainya kolom komentar, ada yang memuji, ada yang mencaci karena kurang fitur dan cuma "menang merek".
Sambil bergumam : "suatu saat kalian akan paham..."
tulisan yg keren bro CHZ